Kejam! Ceritanya Anak Gadis Dirudapaksa Ayah Tiri

Kejam! Ceritanya Anak Gadis Dirudapaksa Ayah Tiri

Kisah Pilu Seorang Gadis yang Dirudapaksa Ayah Tirinya


Pulang

Rumah itu belum banyak berubah. Masih tetap sama seperti ketika hampir lima tahun ia kutinggalkan. Banyak sudah ingatan manis tersimpan, juga lara yang kusembunyikan.

Aku berdiri beberapa tombak, memperhatikan kenangan yang masih kokoh berdiri di hadapan. Semua ingatan itu masih menancap kuat di kepala, seakan-akan menari, mengajakku balik merasainya. Riuh rendah bayangan silam seperti memekakkan telinga. Membuatku hilang kesetimbangan, terjajar, dan limbung. Semua kejadian tragis itu seolah-olah baru saja terjadi.

Dadaku bergemuruh hebat mengenang kisah pilu yang hingga detik ini belum juga mau pergi. Hatiku telah menjadi pusara bagi nestapa yang menimpa. Menyimpan bangkai yang busuknya terpaksa harus kucium sendirian saja. Tak seorang pun hirau. Mereka tak pernah mau percaya. Bagi semua, akulah si pendusta.

Pada akhirnya, aku pun harus menikmati setiap jengkal rasa sakit itu. Menjauh dari perempuan yang melahirkanku dan mem-block semua panggilan darinya. Hanya Mbok Nahlah yang sekali-sekali aku hubungi, untuk mencari tahu keadaan rumah dan juga kabar Ibu.

Bertahun-tahun sudah aku bertahan. Bahkan hampir lima tahun aku menjauh, memupuk dan menyusun siasat untuk membalaskan amuk angkara yang tersimpan. Namun sayang, sebelum kasam sempat terbalaskan, aku mendapat kabar dari Mbok Nah. Barusan, laki-laki itu sudah terlebih dahulu mati berkalang tanah.

Tadinya aku tidak mau pulang karena yakin rumah itu pasti akan membuka lagi semua luka lama. Elegi yang selama ini telah menjadi teman setiaku. Akan tetapi, telepon yang bertubi-tubi dari Mbok Nah, membuatku akhirnya menyerah. Ibu sakit, tak lama setelah kematian laki-laki itu.


Aku pulang. Tidak ada yang berubah dari Ibu. Ibu masih tetap cantik dan segar seperti saat pertama kutinggalkan. Tidak terlihat sama sekali penyakit kronis yang katanya bersarang di tubuh perempuan yang telah melahirkanku itu. Hanya kursi roda itulah yang menegaskan kalau dirinya memang benar-benar sakit dan butuh pertolongan.

Melangit nestapa menyelimuti jiwaku saat melihat Ibu duduk di kursi roda itu. Rasa benci dan muak padanya luruh begitu saja seperti melorot tiba-tiba. Meski harus kuakui, rasa sakit itu belum seutuhnya pergi. Namun, bakti pada orang tua membuatku kembali, tak ingin mendapat cap dianggap sebagai anak yang tak tahu diri.

Jujur harus kukatakan, semua petaka itu terjadi karena Ibu. Iya, karena Ibu yang menikah lagi tanpa meminta pendapatku. Sedikit pun Ibu tidak peduli perasaanku. Ibu lebih memilih dan mementingkan lelaki itu. Sementara kakak-kakakku hanya diam. Abstain. Menyerahkan semua keputusan di tangan Ibu.

***

Aku masih SMA saat laki-laki itu mulai menjadi penghuni di rumah antik kami. Rumah asri yang sangat nyaman untuk ditinggali. Rumah peninggalan Belanda yang secara jelas telah memperlihatkan kasta penghuninya. Lalu dia datang. Masuk menjadi anggota keluarga, tanpa aba-aba dan tanpa membawa apa-apa.

Aku, si bungsu dari tiga bersaudara yang semuanya laki-laki. Kedua kakakku sudah menikah dan sudah pindah rumah. Jadi, hanya aku dan Ibu yang menghuni rumah besar itu.

Aku tahu Ibu kesepian sepeninggal Ayah. Ditambah kepindahan kedua kakakku ke kota tetangga setelah mereka berkeluarga, membuat rumah itu makin lengang. Aku yang tadinya Ibu harapkan akan menjadi teman bicara, malah lebih sering kelayapan. Sibuk dengan masa remaja. Duniaku sendiri. Hingga tinggallah Ibu seorang diri mengisi hari.

Ibu memang pandai merawat diri. Beliau masih tetap cantik di usia yang sudah tidak muda lagi. Perawakannya yang langsing membuat Ibu terlihat masih seperti gadis remaja saja. Tak sedikit orang yang menduga demikian.

Saat jalan-jalan berdua ke mal pun, kecantikan Ibu sanggup memalingkan puluhan pasang mata dariku yang notabene jauh lebih muda. Pesona Ibu memang sangat luar biasa. Entah kenapa kecantikan itu tidak menurun kepadaku. Malah kerupawanan tersebut singgah di wajah kedua kakak lelakiku yang jelas-jelas tidak membutuhkannya karena mereka hanya perlu kantong yang tebal untuk bisa menikahi perempuan yang diinginkan. Sementara aku ... ah, tak satu pun yang melirik! Kecuali dia.

Ya, dia! Laki-laki yang akhirnya menikahi Ibu. Entah dosa apa yang Ibu lakukan hingga memilih lelaki tak jelas itu. Meski berperawakan nyaris sempurna dengan badan gagah dan wajah yang tampan, tetapi bagiku, laki-laki itu seperti iblis yang menakutkan. Sehari-hari kerjanya hanya menggodaku, merongrong, dan menghabiskan harta Ibu.

Dulu, kedua kakakku masih sering menyambangi kami dengan membawa serta istri dan anak-anak mereka. Namun, semua kunjungan itu perlahan mulai jarang hingga akhirnya terhenti semenjak kehadiran laki-laki itu di sisi Ibu. Mungkin mereka menganggap sudah ada yang menjaga dan menemani kami sehingga tidak perlu lagi sering-sering didatangi.

Berulang kali aku menanyakan hal yang sama. Berulangkali pula aku merasa kecewa.

"Bu, kenapa sih, kok, Ibu mau menikah ama laki-laki itu?" tanyaku lagi sore itu sepulang sekolah. Aku sengaja tidak menyebutnya bapak. Tentu saja rasa benci yang menghalangiku memanggil si benalu dengan sebutan terhormat seperti itu. Cuih! Takkan pernah aku sudi.

"Mira! Jangan lancang kamu! Pertanyaan macam apa itu? Dia itu bapakmu! Suami ibu! Hormat sedikit!" tegur Ibu sambil membeliakkan matanya yang indah kepadaku. Aku terkejut melihat responnya. Terdiam karena tak menduga.

Sikap Ibu yang sangat posesif malah membuatku makin benci dan ingin lari dari rumah. Tentu saja beliau tidak pernah tahu bagaimana perilaku suami tercintanya itu karena terlalu sibuk dengan bisnis dan tokonya. Aku yang mengetahui dan merasakan semuanya, Bu ....

"Bu, Mira tidak suka dengan laki-laki itu! Mira tak akan pernah mengakui dia sebagai bapak! Titik! Pokoknya Mira benci!" teriakku keras langsung lari menuju kamar. Aku merasa lega telah mengungkapkan semua isi hati yang selama ini kupendam.

Jujur, aku takut dengan suami Ibu. Ngeri melihat cara dia menatap. Seakan-akan menyelisik dan ingin menelanku bulat-bulat. Mata itu seperti menyimpan niat busuk. Hingga pada suatu hari, apa yang kutakutkan itu pun terjadi.

Pagi itu, Ibu menemuiku ke kamar.

"Mira, nanti sepulang sekolah langsung pulang, ya. Jangan kelayapan. Ada hal penting yang ingin Ibu bicarakan."

Hari itu, ternyata sekolah pulang lebih cepat karena ada rapat guru. Niat ingin main ke tempat teman terpaksa kutepis, teringat pesan Ibu. Dengan perasaan malas aku menuju rumah. Biasanya tengah hari begini, perempuan cantik itu masih berada di toko. Laki-laki itu juga.

Saat melewati kamar Ibu, aku mendengar suara-suara aneh. Lho, harusnya Ibu 'kan masih di toko? Paling cepat pulang ashar. Lalu, siapa yang ada di dalam? Laki-laki itu? Dengan siapa dia?

Penasaran aku mengendap, ingin menguping.

Baru saja akan menempelkan telinga, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Seorang perempuan yang tidak kukenal, keluar dari kamar Ibu. Dia melenggok dengan santainya tanpa memedulikan kehadiranku.

Sebelum sampai di pintu depan, perempuan menor itu berteriak, "Mas, ada anak SMA tuh, mencari kamu!"

Entah karena mendengar teriakan si perempuan, suami Ibuku itu terbirit-birit keluar dari kamar. Sepertinya dia ingin memastikan ucapan 'tamunya' tadi.

Wajah laki-laki itu terkejut. Namun, hanya sebentar. Kemudian dia pun mendatangiku dengan ekspresi seolah tak terjadi apa-apa. Tersenyum dengan tatapan mesum. Dia bicara mengancam, "Awas kalau sampai Ibumu tau! Atau ...." Laki-laki itu menggaris lehernya dengan telunjuk. Memeletkan lidah, mengedipkan mata dengan ekspresi genit. Memuakkan, sekaligus menakutkan.

Perutku tiba-tiba mual, membayangkan tatapan gatal menyeramkan dari pria yang di atas kertas adalah bapakku. Aku bergidik dan langsung berlari sekencang-kencangnya menuju kamar, membanting pintu dan menguncinya cepat. Masih terdengar tawa menyebalkan itu. Menjijikkan!

***

Sore setelah ashar akhirnya Ibu pulang. Aku sengaja menunggu perempuan cantik yang terlihat lelah itu karena seharian sibuk mengurus bisnisnya. Sebelum Ibu mengungkapkan maksud hatinya, aku langsung saja menyampaikan unek-unek terlebih dahulu. Masih dengan unek-unek yang sama. "Bu, kenapa sih, kok, Ibu nikah ama dia? Gak ada laki-laki lain, apa?"

Pertanyaanku langsung membuat Ibu emosi dan pergi. Sepertinya beliau lupa akan niatnya tadi, memintaku pulang lebih awal.

Malam itu aku terbangun. Merasakan seperti ada beban berat yang menghimpit seluruh tubuhku. Saat tersadar, aku sangat terkejut. Laki-laki itu berada di atasku, tanpa penutup di bagian bawah tubuhnya. Aku berontak dan menendangnya kuat. Refleks, aku berteriak. Namun, Laki-laki itu membekap mulut dan menodongkan pisau di leherku. Entah kapan dia mengambil benda tajam itu. Mungkin dia sudah mempersiapkannya.

"Berteriak, gua potong leher lu! Ibu lu tau, gue bunuh juga dia!" Selesai mengancam, laki-laki itu kemudian menyelesaikan segalanya hingga tuntas. Terburu-buru dia mengenakan pakaian. Meninggalkanku dalam keadaan terhina dan trauma.

Bagian bawah pahaku terasa sakit. Ngilu sekali. Dengan terseok-seok aku menuju kamar mandi, membersihkan diri, dan menangis sejadi-jadinya. Aku merasa kotor. Akan tetapi, aku harus kuat. Akan kubalas semua kekejian ini. Pasti!

Esoknya aku menemui Ibu. Berusaha bersikap dan berjalan biasa seperti tak pernah terjadi apa-apa.

"Bu, Mira mohon, jangan percaya seratus persen dengan laki-laki itu. Dia bukan laki-laki yang baik, Bu! Dia pernah membawa perempuan lain ke kamar Ibu. Tidak hanya sekali. Benar, Bu! Sumpah! Aku gak bohong! Aku melihatnya sendiri!"

Penuh daya upaya aku meyakinkan Ibu. Dalam hati, aku pun ingin mengadukan peristiwa memilukan yang kualami semalam. Namun, ketakutan akan keselamatan diriku dan Ibu, membuat semuanya terpaksa harus kutelan sendirian.

"Sudahlah Mira. Gak usah mengarang-ngarang cerita. Ibu gak percaya omong kosongmu itu! Ibu tau kamu membenci suami Ibu. Dari awal, kamu emang sudah gak suka Ibu menikah." Tampak sekali kegusaran di wajah Ibu mendengar aduanku.

Akhirnya, aku pun diam. Menjauh dan mulai mengurung diri dalam kamar. Aku bertahan dalam hening dan rasa sakit. Merajut dendam sambil menunggu kelulusan sekolahku yang hanya tinggal dua bulan lagi.

Sebenarnya, berulang kali aku berusaha memberitahu kakak perangai laki-laki itu. Namun, semua tak pernah sesuai harapan. Mereka menganggap aku yang berlebihan. Mencipta cerita karena rasa tidak suka. Semua orang menganggap aku yang berdusta.

Sejak saat itulah aku benar-benar membisu. Tak lagi bicara dan mengadu tentang laki-laki itu.

Setelah lulus, aku memilih pergi dan memulai hidup baru sendirian. Aku serius kuliah dan bekerja sepenuh hati untuk melupakan semua tragedi.

Aku memendam bara, seperti menyimpan api dalam sekam. Memupuk rasa benci yang akan kuluahkan suatu saat nanti di muka laki-laki yang telah merenggut duniaku dan ibu.

***

Dua bulan sudah aku di rumah. Bekerja menggantikan Ibu, mengawasi toko dan semua bisnisnya. Selama itu pula aku merasa ada yang janggal dengan tempat tinggal ini. Meski ada Mbok Nah, tetapi rumah ini seperti masih ada sentuhan tangan Ibu. Senantiasa apik dan terawat. Tempat-tempat tersembunyi, sudut-sudut pajangan, selalu terlihat bersih dan mengilap. Hanya Ibu yang telaten berbenah seteliti itu. Bukan Mbok Nah.

Keadaan tersebut membuat hatiku bertanya-tanya. Siapa yang mengerjakan semua ini?

Keheranan kian menjadi-jadi karena melihat kondisi Ibu yang tetap segar, cantik, dan selalu terawat. Ditambah, tidak sekali pun Ibu pernah meminta tolong kepadaku. Apa jangan-jangan ....

Untuk menggugurkan rasa curiga, aku pun bersiasat. Setelah berangkat ke toko dan sebelum Mbok Nah datang dari pasar, aku akan balik ke rumah secara diam-diam. Aku akan memastikan bahwa kecurigaanku itu tidak benar.

Jadilah pagi itu aku masuk seperti maling, mengendap-endap menuju kamar Ibu. Ternyata beliau tidak ada di sana. Segera saja aku ke dapur. Deg! Jantungku serasa mau copot melihat perempuan luar biasa itu sedang berdiri menyeduh teh.

"Ibuuu!!! Jadi selama ini Ibu bohong, berpura-pura sakit?"

Aku langsung balik kanan, berjalan cepat ke pintu. Aku marah karena merasa ditipu. Selama ini aku sudah berusaha memaafkan dan melupakan salah Ibu yang membuatku pergi darinya. Namun, kejadian hari ini memancing kembali luka lama itu.

"Mir, Miraaa! Jangan pergiii! Ibu mohon, Naaak! Dengarkan Ibu duluuu! Miraaa!!!" Ibu berteriak seperti orang kesurupan sehingga mampu menghentikan langkahku.

Ibu menghampiri, memeluk, dan membimbingku menuju ruang tamu.

"Duduklah dulu! Dengarkan cerita Ibu dan jangan potong saat Ibu bicara!"

"Hari itu, Ibu pulang lebih cepat dari biasanya karena ada surat-surat penting yang tertinggal. Tergesa-gesa Ibu masuk ke rumah. Saat itulah Ibu membuktikan ucapanmu."

"Laki-laki itu membawa perempuan lain ke kamar Ibu. Ibu murka. Si perempuan itu lari. Dia ... malah tertawa mengejek Ibu, memaki, dan mengucapkan kata-kata yang membuat Ibu sangat terpukul, tenggelam dalam rasa berdosa kepadamu. Ibu ingat betul apa yang dia katakan. 'Anakmu pun sudah aku cicipi!'"

"Ucapan laki-laki itu benar-benar memancing amarah Ibu. Ingin rasanya Ibu membunuh dia. Membalaskan sakit hati Ibu, dan mungkin juga membalaskan dendammu. Seperti kerasukan setan, Ibu mendorongnya sekuat tenaga. Tak menyangka dia oleng, terjatuh, dan kepalanya menyenggol sudut meja. Lelaki itu pingsan. Ibu mengira dia pingsan. Ibu bingung, tak tahu harus berbuat apa. Khawatir kalau-kalau dia akan segera terbangun dan membalas Ibu. Jujur, Ibu takut sekali waktu itu."

"Segera saja Ibu dekati dia. Meletakkan wajah ke pipinya dan memeriksa napas di hidungnya. Tak ada. Tak ada suara napas. Tak ada juga naik turun gerakan dadanya. Dia mati. Ibu kira dia mati. Ibu kalut. Cemas sejadi-jadinya. Ibu takut dianggap sebagai pembunuh. Meski Ibu memang ingin membunuhnya, tapi itu, Ibu tak sengaja ...."

"Maafkan Ibu, Nak, tak pernah mempercayaimu. Maafkan Ibu, karena telah membuatmu menderita."

Aku hanya diam mendengar dan memandang wajah sedih Ibu lekat-lekat. Aku betul-betul syok mendengar cerita itu. Akan tetapi, aku masih menahan diri, ingin mendengar kelanjutannya.

"Jujur, saat itu Ibu cemas luar biasa. Khawatir jika ada yang curiga dengan kematiannya. Ketika Mbok Nah datang, Ibu langsung menjerit sekuat-kuatnya. Berlagak menemukan laki-laki itu sudah mati. Berulang kali Ibu berpura-pura pingsan. Hingga akhirnya Ibu bersandiwara, seolah-olah sangat menderita karena kehilangan dia. Menjadi pendiam, tak kuat berdiri, dan selalu merasa lemah. Wajar saja 'kan, kalau seorang istri itu syok dan menjadi sedikit depresi karena ditinggal mati suaminya?"

"Semenjak itulah Ibu di kursi roda. Berpura-pura sakit, merasa kehilangan agar tak dikejar dan ditanya soal kematiannya."

"Maafkan Ibu, Nak, tak mampu melindungimu. Ibu terpaksa melakukannya. Ibu harus mengorbankan diri sendiri, juga menjaga jiwamu. Ibu takut ketahuan, tak mau masuk penjara."

Tanpa disadari, air mataku mengalir deras. Tak kusangka Ibu akan melakukan itu untukku. Setangkup haru dan berjuta cinta kembali bermekaran untuknya yang rela mengorbankan diri demi menuntaskan dendamku.

"Besok, Ibu gak usah lagi berpura-pura sakit. Hiduplah seperti biasa, seakan-akan Ibu baru sembuh. Aku akan tinggal di sini, merawat, dan menemani Ibu selamanya."

-Tamat-

Jika ada nama tokoh , tempat dan waktu hanyalah faktor penulisan cerita saja.
Baca Juga

Share This

No comments:

Post a Comment

VIDEO JANDA COMMUNITY