Love Story, Rahasia Wanita

Love Story, Rahasia Wanita

Rahasia Wanita Novel Cinta Mama Muda


Love Story Young Mommy Rahasia Wanita

Sudah dua hari Bang Wildan di rumah. Ia tak mau keluar kamar, kecuali hanya saat ke kamar mandi saja. Bang Wildan bahkan tak mau makan, hanya nyemil roti yang dibeli dari minimart. Aku rasanya stress ingin marah-marah, tapi marah sama siapa?

Mama tidak membuat hatiku tentram, justru dia malah bikin panas. Seperti pagi ini saat aku hendak berangkat kerja. Mama mendekatiku yang sedang memanaskan motor di halaman.

"Khaya, suruhlah suamimu itu cari kerja. Enak saja dia cuma makan tidur gak mau keluar kamar. Enak bener hidupnya. Cuma ngandalkan kamu sebagai istrinya. Sepet mata Mama lihat Wildan itu. Jadi suami kok gak ada rasa tanggung jawab sama sekali."

"Mama, Bang Wildan lagi sedih. Kalau sedihnya sudah hilang, aku yakin dia akan cari kerja juga."

"Kalau sedih terus-terusan, bisa hilang rumah ini. Mana minggu depan waktunya bayar cicilan. Kamu juga belum gajian. Gajianmu juga nggak bakalan cukup nutup cicilan utang. Mama benar-benar kesal, Khaya!"

"Ah, Mama. Aku juga pusing mikirin. Aku mau kerja dulu, biar nanti kupikirkan cara buat bayar cicilan." Aku naik ke atas motor dan mengendarainya hingga ke tempat kerja.

Paling tidak aku masih mempunyai pekerjaan sekarang. Kalau aku juga dipecat gara-gara kinerja tidak maksimal, bisa berbahaya.

Yuki, aku masih punya Yuki untuk menolong. Sengaja kami janjian sepulang kerja nanti di kafe langganan.

Aku memesan espresso dingin. Sementara Yuki memsan Americano dan cemilan sosis bakar. Cafe ini pas sekali jadi tempat membuang penat. Suasana green yang diusung jadi tema cafe membuat mata jadi adem.

Baca Juga :

"Yuki, aku mau pinjam uang buat bayar cicilan utang. Kamu tahu kan, utangku banyak banget." Aku memelas menatap Yuki.

"Tumben, Khay. Ada apa kok pinjam segala?"

"Bang Wildan dipecat. Kamu tau sendiri, kan. Sekarang itu cari kerja susah banget. Tolongin aku ya, Yuk? Aku bingung harus minta bantuan siapa lagi."

"Baiklah. Kamu butuh berapa biar aku transfer."

Tak kusangka, Yuki langsung menyetujui. Aku menyebut nominal dan dia segera meminta nomor rekening. Saat itu juga, Yuki mentransfer dana yang kubutuhkan.

"Sudah, ya." Yuki menunjukkan layar ponselnya.

"Makasih, Yuk. Kamu memang sahabat terbaikku." Aku meremas tangannya.

Pesanan kami datang, aku meminum kopi dengan perasaan bahagia. Setelah satu jam mengobrol, aku pulang ke rumah. Membawa bungkusan ayam goreng yang dibelikan Yuki buat oleh-oleh.

Mama senang sekali menerimanya. Tanpa ijin, Mama menghabiskan ayam gorengnya. Tanpa menyisakan sama sekali.

"Mama, ayamku mana?" tanyaku saat baru keluar dari kamar mandi dan mendapati bungkusan telah terbuka. Beberapa potong ayam goreng ludes tinggal tulang belulang di atas bungkusnya.

"Habis, Khay. Enak banget ayamnya. Lain kali bungkusin yang banyak buat Mama."

Rasanya aku ingin menangis saat itu juga. "Mama, kan aku belum makan."

"Lho, Mama kira kamu sudah makan. Biasanya kan kamu makan dulu baru bungkusin buat Mama."

"Itu dibelikan Yuki, Ma."
"Harusnya kamu minta yang banyak sekalian. Mumpung dibelikan." Mama bersendawa lalu pergi meninggalkanku sendiri di dapur.

Aku akhirnya membuat telur dadar dan makan dengan perasaan jengkel setengah mati. Bang Wildan datang saat makananku tinggal separuh.

"Abang mau makan?" Aku menawarkan.
"Iya, aku lapar, Dik."
"Tunggu aku buatkan telur dadar buat Abang."

Bang Wildan duduk manis, sementara aku membuatkan lauk untuknya. Kami makan bersama dan berbincang dari hati ke hati setelah makanan habis.

"Abang kapan mulai cari kerja?"
"Besok mungkin. Abang mau siapkan berkas-berkasnya."
"Aku udah pinjam uang Yuki buat nutupin cicilan bukan depan, Bang. Kalau Abang dipecat apa nggak dikasi pesangon, Bang?"

Bang Wildan menggeleng. "Abang hanya karyawan kontrak. Nggak dapat pesangon. Bulan ini gaji Abang juga nggak bisa full. Tinggal separuh. It akan aku pakai buat cari kerja."

"Buat aku separuh, lah, Bang." Aku memegang tangannya. "Banyak banget cicilan dan arisan Mama."

"Dik, Abang akan berusaha cari kerja. Kamu yang sabar, ya."

Aku mengangguk. "Ya, Bang."

Benar kataku, cari kerja itu bukan perkara yang mudah. Abang Wildan sudah melamar di puluhan lowongan yang katanya membutuhkan karyawan. Tidak ada satu pun yang mau menerima Bang Wildan. Kini sudah satu bulan setengah Bang Wildan jadi pengangguran.

Hamilku juga sedang bermasalah. Setiap pagi aku mengalami morning sickness dan segala sesuatu di dalam perut keluar semua. Kepalaku berdenyut sakit setiap berangkat kerja. Beberapa kali aku dipanggil manager terkait pelayanan yang kurang memuaskan. Katanya hamil bukan alasan untuk kerja tidak maksimal. Manager mengancam akan memberikan surat peringatan kalau aku terlihat kuyu dan lemas dalam melayani pelanggan.

Hingga detik ini, aku belum juga memeriksakan diri ke bidan. Uangnya masih belum ada. Aku tidak berani meminum obat apa-apa, takut berefek pada bayi di dalam sana. Walaupun tak siap dengan kehamilan ini, paling tidak aku harus sehat, jangan sampai salah minum obat dan akhirnya membuatku sakit.

Bang Wildan sekarang jarang di rumah. Dia lebih memilih nongkrong di warkop setelah selesai melamar kerja dan melakukan interview. Pulang-pulang kalau sudah malam dan tidur. Sebelum tidur meminta kehangatan ranjang. Begitulah aktivitas sehari-hari hingga tibalah cicilan utang yang harus dibayar.

Mama sama sekali tidak mau tahu. Setiap hari dia sibuk bergosip dari rumah satu ke rumah lainnya. Membeli barang dengan dicicil dan bersenang-senang dengan teman sosialitanya. Aku terkadang heran dengan Mama. Bisa banget Mama berbuat seperti itu. Tega dengan aku yang mati-matian banting tulang sendirian.

"Aku stress banget, Yuki. Rasanya pengen ngilang aja dari rumah. Udah suami pengangguran, Mama juga seperti itu kelakuannya. Aduh, lama-lama bisa mati muda!" Aku menelepon Yuki saat selesai bercinta dengan Bang Wildan. Tak peduli nyamuk teras menggigit kakiku.

"Gimana kalau aku lunasi cicilanmu, tapi sebagai gantinya, aku mau coba dapatkan anak dari Bang Wildan. Siapa tau kan Bang Wildan bisa menghamiliku?"

Aku terbelalak mendengar tawaran Yuki. "Semprul kamu, Yuk."

"Aku serius, Khay. Duit di rekeningku sekarang bisa buat beli rumah, lho."
"Tapi, apa itu masuk akal, Yuki?"
"Terserah kamu sih. Kalau mau nggak apa-apa."
"Gimana caranya biar Bang Wildan mau? Duh, aku sudah pusing mikirin utang ini.
"Susah juga ya, jadi kamu, Khay."
"Banget. Coba aku pikirin dulu tawaranmu."

Yuki ini sudah gila rupanya. Mau-maunya dia bayar suamiku buat kasi dia anak. Kalau bukan orang gila mana mungkin tercetus ide konyol itu dari bibirnya.

Pagi harinya, saat selesai bersiap berangkat kerja, sengaja aku ke kamar Mama dan menutup pintunya.

"Mama, aku punya sesuatu buat dibicarakan."

Mama yang sedang main ponsel berkata cuek. "Apa, Khay?"
"Yuki mau bayarin cicilan utang, Ma."

Mama segera meletakkan ponselnya dan menatapku. "Bagus itu. Apa syaratnya?"

"Kok Mama tau kalau ada syarat?"
"Hari gini, gak ada yang gratis, Khay."
"Iya, sih." Aku duduk di samping Mama. "Yuki mau coba dapat anak dari Bang Wildan, Ma."

Mama terbelalak. Matanya seolah mau lepas dari kelopaknya. "Wah, enteng banget syaratnya, Khay. Gapapa itu. Daripada Wildan nganggur kan kerja aja kasi anak Yuki. Lagian kita butuh duit banget, Khay. Kapan lagi ada tawaran gini."

Wadau, kukira Mama akan menolak mentah-mentah ide ini. Ternyata dia justru menyetujui tanpa tedeng aling-aling. Baiklah, akan aku lakukan. Toh semua ini demi kelangsungan hidup aku dan Mama. Bang Wildan harus mau membantu. Bagaimanapun caranya.

"Kalau begitu, aku akan bilang sama Bang Wildan malam ini, Ma. Tapi kalau dia menolak bagaimana?"

"Gampang, Mama punya rencana. Pasti berhasil."
"Okelah, Ma."

Aku dan Mama ber-high five dan tersenyum licik. Membayangkan uang yang akan didapat dari Yuki.

Bang Wildan, aku harap dia mau membantu dengan suka rela.

🌹🌹🌹

"Bang, tagihan bulan depan gimana?" Aku memeluk pinggang Bang Wildan saat berbaring di kasur. "Duitku nggak cukup, Bang."

"Mama kan punya perhiasan. Jual dulu lah itu buat bayar cicilan." Bang Wildan bukannya memberi solusi, tapi malah mau bikin ruwet.

"Bang, Abang tau sendiri Mama itu gimana. Gak bakalan mau dia jual, Bang."
"Daripada gak bisa bayar utang dan disita bank. Harusnya Mama tau mana yang lebih penting."

"Abang juga harusnya cepet kerja. Jangan nganggur terus biar bisa bayar utang Abang." Aku memukul punggungnya.

"Abang udah berusaha, Dik. Tapi belum dapat kerjaan."

"Bang, kalau ada yang mau bayar mahal buat kasi anak gimana ya, Bang."

Bang Wildan menggeser tubuhnya dan menghadap ke arahku. "Kamu keknya capek. Sini kupijitin. Kasihan Adek Khaya. Maafkan Abang yang belum bisa bajagiakan kamu, Dik."

Jemari Bang Wildan memijit bahuku dengan lembut. Aku jadi lupa akan bicara apa. Pijitannya begitu enak hingga kantuk menyerang tanpa ampun.

Keesokan harinya, aku bicara kepada Mama tentang reaksi Bang Wildan. Mama pun membuat rencana. Dia membisikkan rencananya di telingaku. Aku terbelalak mendengar skenario super mantap dari Mama. Tak sabar rasanya menjalankan semua rencana Mama yang matang dan sempurna ini.

Demi uang, aku rela melakukan segalanya. Toh cinta Bang Wildan hanya untukku seorang.

Demi melancarkan aksi, aku dan Mama bersikap sangat baik kepada Bang Wildan. Tak pernah kami mengomel di depannya lagi, agar Bang Wildan merasa betah tinggal di rumah. Benar saja, sekarang Bang Wildan lebih suka di rumah setelah selesai melamar pekerjaan dan interview. Dia tidak lagi nongkrong di warkop bersama teman-temannya. Bang Wildan anteng di dalam kamar dan memainkan game dalam ponselnya.

Setiap saat, Mama melaporkan pergerakan Bang Wildan via wapri. Aku tersenyum setiap kali membaca WA dari Mama. Semangat kerja muncul lagi, kini manager tidak ada alasan memangil dan memarahiku.

Tak sabar aku menanti hari esok, hari liburku kerja sekaligus hari pertama misi menanamkan benih Mas Wildan di rahim Yuki.

Oh, semoga semua lancar dan uang Yuki mengucur buat nutup utang.

Bersambung Penulis, Novi Purwanti

Wah, makin edan saja Khaya dan mamanya. Wadau!

Happy reading dan salam bahagia senantiasa.

Daftar Isi Novel

Baca selengkapnya : INDEKS LINK
Baca Juga

Share This

No comments:

Post a Comment

VIDEO JANDA COMMUNITY