Kembalinya Cinta yang Hilang Istri Kedua

Kembalinya Cinta yang Hilang Istri Kedua


Cerita Cinta ; Catatan Hati Seorang Penulis : Sejak pertama kali kenal di Facebook, aku mulai mengaguminya. Sosoknya yang 'bamvang tampan', wajahnya yang berseri seperti mentari pagi, kulit putih cerah, body gagah sedikit kurus, sapa manjanya seramah marmut kumut-kumut mahkluk betina mana yang hatinya tidak kepincut?

Demikian terlihat dari foto-foto akun pribadi miliknya yang sering aku kepoin. Bisa jadi aku korban rayuan gombal tulisan-tulisan prosa bapernya.

Bukan hanya itu, ia juga sangat cerdas tipe imam idaman kaum hawa. Selain mapan dalam pekerjaan, ia terbilang penulis muda dengan banyak fans garis keras dari para ibu bangsa, emak-emak rempong dan tentu saja mocan; momi cantik seperti diriku. Mungkin ya he he canda boleh'kan?

Tidak ... Aku selalu menunggu postinganya di Media Social. Saat di mana kita bisa chating via Whatshapp atau aku bisa memberikan komentar pada postingannya yang selalu menghipnotis para pembaca.

Cowok itu bernama Tirta, hampir segala cara kulakukan agar ia mau membalas cintaku sayangnya semua sia-sia. Ia tidak pernah memberiku jawaban dan berlalu begitu saja tidak dianggap.

Bahkan meninggalkan sapa hangat manja yang sering singgah dalam mimpi-mimpiku pun tidak. Sampai akhirnya rasa putus asa memisahkan kita, aku masih memimpikanya.

Menahan rindu yang pahit dan menunggunya. Cinta memang buta. Kesetiaan memang menyakitkan.

"Gimana Kabarmu?"

Sapaan inbox itu mengejutkanku pada suatu senja Febuari, beberapa tahun kemudian setelah aku mulai letih berharap. Aku sedang hang out di kafe saat itu bersama teman teman senasib seperjuangan, momi cantik deretan para janda.

Entah keajaiban apa, lelaki berpunya sombong itu semendadak angin menayakan kabarku.

Baca Juga :

Gayanya masih sableng dan penuh percaya diri. Stalking sebentar, kutengok akun facebooknya, sedikit berubah. Terlihat foto artis luar angkasa yang di pajang. Sepertinya senja itu ia lagi kumat atau tidak dapat jatah dari istrinya. Apa aku justru yang kumat? Tidak sadar diri ia laki orang. Entahlah

"Kemana saja tidak pernah sapa, apa di telan bumi?" ujarnya lagi membuatku bingung.

Bagaimana mau bilang, selama ini aku letih menunggunya. Tuhan, rupanya mengerti kegelisahan hatiku sehingga membuatnya oleng dengan menghubungiku.

"Baik. Sibuk apa sekarang, Mas?"
Lalu berbalas pesan hanggatpun mengalir.

Kita saling bertukar cerita, aku bercerita tentang suamiku yang tiga tahun lebih tidak memberi nafkah lahir apalagi batin. Seperti tahun-tahun awal kenal, Mas Tirta masih sok sibuk menjadi 'tong sampah' para fansnya.

Dua tahun berlalu, seolah tidak ada yang berubah, kecuali sikapnya mulai hangat terhadapku atau mungkin aku yang terlihat bodoh karena berharap lebih padanya?

Mas Tirta juga berkata bahwa lebih giat menulis, literasi menjadi bagian hidupnnya.

"Jadi sekarang kamu masih tetap menulis buku, Mas? Aku mau dong dibikinin olehmu!"
"Iya gampang!"

Balas hangat Mas Tirta ini mengispirasiku untuk mulai mau belajar menulis buku atau novel. Mungkin bisa menjadi alasan untukku lebih dekat padanya.

Cinta di pucuk ulam pun tiba, rasa terlarang itu yang belum pudar menyala lagi. Tidak perlu lama lagi aku memberanikan diri mengungkapkan cinta pada Mas Tirta dan ternyata ia membalasnya.

Bahagia indah terasa mimpi-mimpiku selama ini untuk memiliki imam idaman menjadi nyata. Harapan untuk membangun mahligai cinta bertahta bahagia kini tidak lagi sekedar angan.

Baca Juga :

Selama ini aku mendambakan suami yang tampan, mapan, gagah, romantis dan bisa membimbingku ke arah yang lebih baik.

Cowok penulis gagah pasti bisa melelehkanku di atas ranjang. Rasanya sudah tidak sabar dibuatnya hamil dan bisa melahirkan anak-anaknya. Akan kuabdikan seluruh hidupku menjadi istri yang baik.

Ya walaupun agak ganjil kenapa Mas Tirta menerimaku cintaku begitu saja. Padahal ia sudah punya istri yang cantik dan sempurna.

Mungkin alasanya karena Mas Tirta sama seperti lelaki lainya, tidak tahan dengan godaan wanita atau agar beban untuk melayaninya tidak ditanggung oleh seorang saja.

Bagaimana kalau ia nanti tidak bisa berbuat adil? Pikiran ragu itu menguasai mindaku. Kenapa aku begitu bodoh menggodanya? Sebagai sesama wanita, ada rasa nyeri di dalam dada saat memikirkan semua itu.

Namun semua berbeda setelah setahun berlalu, Mas Tirta tidak juga kunjung menikahiku. Padahal sudah kuberikan semua yang berharga untuknya.

Selalu memberikan alasan sama : sabar, sebab ijin istri pertama belum didapatkan.

Taukah kamu, apa yang membuat hatiku hancur berkeping-keping? Ternyata ia menggantugkan cinta kita.

Jangankan diakui syah secara negara dan agama, seperti baju, aku digantung begitu saja setelah dicoba, mungkin ia tidak nyaman karena usiaku lebih tua darinya. Tapi aku juga wanita, punya hati punya rasa.

Aku tau itu semua salahku sendiri karena terlalu berharap dan begitu bodoh merendahkan harga diriku sendiri. Sudah jatuh ketiban tangga, itulah nasib yang mesti aku terima.

Perihnya Tak Dianggap

Apa yang bisa aku lakukan saat sebuah pengorbanan tiada arti lagi? Perjuangan bertahun-tahun hanya dibalas dengan hinaan semata.
Bahkan air mata'pun sampai mengering kerontang hingga kata sakit tidak mampu untuk meyebutnya. Apakah kehidupan begitu kejam? Atau justru aku'lah yang bodoh selama ini.

Menggigil gemetar saat jemari lentikku mulai menari merangkai kata demi kata. Mata tak mampu terpejam, panas merangsek, memenuhi ronga dada.

Jika berteriak kencang sama dengan melengking? Tentu aku tak akan sepusing ini. Sepertinya aku sudah mulai gila, tertawa sendiri tidak jelas.

Biarlah aku hari ini memeluk hari kemarin dengan kenangan jahat masa lalu, serta masa depan yang dipertanyakan. Apa kau pikir sebuah kerendahan hati tak mampu melindungi harga dirinya dari cacian dan hinaan? Sungguh prilakumu tak bertata, sebuah pengorbanan kau balas dengan rasa yang menyakitkan.

Mungkin saatnya, aku memang harus rela untuk melepaskanmu dari tanganku, dengan begitu kamu akan lebih bahagia?

Selama alam belum tertidur? Pembalasan karma akan menghadang, siap menyapamu dengan hukuman yang lebih menyakitkan. Ya sudahlah sampai di sini saja prosa jiwa menikmati perihnya tak dianggap.

Nyesek ....
Menyakitkan ....

Apa hendak di kata, kenyataanya kebahagianku berubah buram. Setiap ada harapan, selalu berakhir dengan pesakitan.

Satu tahun pertama, aku melahirkan seorang bayi perempuan. Rambut, mata, alis, hidung, bibir, kulit, semua warisannya.

Bagaimana menjelaskan pada Cinta? Bahwa papanya adalah seorang penulis bre ng sek. Benarkah? Atau justru mamanya yang bre ng sek karena begitu bodoh memberikan ikan asin pada kucing? Namun cintaku yang besar pada Mas Tirta membuatku menelan pertanyaan-pertanyaan itu.

Enam tahun telah berlalu, lelaki itu tidak kunjung menjemput kami. Jika bukan untukku, paling tidak untuk putrinya, Cinta.

Tidak ... Akulah yang bersalah, karena Mas Tirta tidak mengetahui perihal kehamilanku. Ini adalah hukuman untuknya karena tidak berbuat adil terhadapaku.


Bukan karena aku tidak bisa menghadirkan lelaki lain atau atau kekurangan finansial, sudah menjadi prinsipku : mencintai Mas Tirta adalah kerelaanku.

Cinta adalah misteri hati, tidak ada satupun manusia memahaminya dengan pasti. Aku masih menunggunya di sini, rumah yang harusnya ia tuju.

"Mama bekerja atau melamun sih? Ayo dong, Ma menyanyi lagi buat Cinta! Kita bisa nyanyi keras-keras. Kan' Ma." Suaranya mengkagetkan lamunanku.

Mencoba tersenyum sekalipun pahit. Ini tahun kelima kepergianku meninggalkan Mas Tirta sejak malam itu. Cinta menjadi gadis tangguh, tanpa kehadiran seorang papanya pun akan tetap tumbuh.

Cinta adalah mutiara berharga yang pernah aku miliki di dunia ini. Kuraih kepala putri kecil itu dalam pelukan. Walaupun aku tidak bisa memiliki Mas Tirta, paling tidak ia sudah menitipkan benihnya padaku.

Karena itulah, meski sakit, aku hanya diam menjadi pilihan. Apakah cintaku pada Mas Tirta mulai meranggas?

Rasa ini tidak mungkin bisa kuungkap semua meski harus berakhir hancur remuk tidak bernada. Perih membakar jiwa terluka dengan kenyataan harus hidup mengunyah jantung memakan hati.

Pembalasan itu menyakikan, Jendral. Aku tau kelemahan Mas Tirta, yaitu ia sangat menyayangi anak-anak. Apalagi penderitaan yang bisa menghancurkan hatinya? Jika bukan mengetahui kenyataan, ia menelentarakan putri kandungnya sendiri.

Suruh siapa membuatku menunggu seperti orang gila? Inilah pembalasannya. Catat.

Ira dan Segala Kenangannya

Bagaimana mungkin bisa aku bisa membenci Mas Tirta? Adalah impianku sejak di bangku SMA ingin menjadi seorang penulis tidak tersampaikan. Impianku yang dulu pernah musnah kini bersemi karena bertemu dengannya.

Pagi itu, aku berjalan perlahan menuju jendela. Cahaya mentari melompat melewati jendela dengan kecepatan cahaya tidak berkurang menerangi kamar. Burung-burung berterbangan menghiasi langit. Cahaya pagi membawa ingatantanku kembali pada remaja enam belas tahun.

Pada usia itu, di bangku SMA aku sudah sering menulis puisi, cerpen dan berbagai karya fiksi lain. Namaku sudah tidak asing di sekolahan, sering menang berbagai event hingga tingkat nasional. Namun semua itu berakhir sejak naik kelas XI, papa dan mama tidak mendukung putrinya menjadi penulis.

"Penulis itu tidak punya kerjaan! Harapanya suram. Mau jadi apa kamu nanti?"
"Tapi, Pa ... Apa salahnya jadi penulis? Banyak kok penulis hebat yang namanya harum."
"Iya setelah jadi batu nisan. Sekali tidak ya tidak. Kamu harus ambil jurusan IPA bukan IPS. Papa gak mau, kamu gagal menjadi dokter nantinya."

Seluruh catatan, piagam dan semua hal yang berhubungan dengan dunia sastra atau literasi dibakar begitu saja tanpa perasaan. Aku tidak berdaya melawan kehendak mereka.

Sebagai putri tunggal, bukan kasih sayang berlimpah yang di dapat. Melainkan semua hal ditentukan oleh orang tua. Bahkan aku remaja tidak mengenal apa itu pacaran, adanya hanya belajar, belajar dan belajar seperti robot.

Tentu aku tumbuh menjadi gadis tertutup, hanya beberapa saja memiliki teman wanita. Itupun jarang bergaul kecuali kegiatan sekolah. Tidak ada kisah indah cinta anak SMA bisa kukisahkan seperti Dilan dan Milea yang mengharu biru.

Bahkan sampai menikahpun, aku di jodohkan. Hingga akhirnya pernikahan itu hanya bertahan satu tahun. Suamiku tidak tahan karena aku tidak mau disentuh.

Salah siapa? Itu dosa siapa? Hanya waktu yang memahami jawabanya.

Setelah bercerai, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Aku menjadi wanita liar, semua masa indah waktu SMA dan kuliah ingin tertebus. Tapi apa? Justru sebaliknya, hanya sakit hati dan sakit hati yang kudapatkan.

Suatu hari tanpa sengaja, aku bergabung dalam satu group kepenulisan terbesar di indonesia di facebook. Awalnya hanya sekedar membaca sebagai silent reader, lumayan untuk mengobati kegagalan masa lalu.

Semestapun sepertinya berpihak, ada satu karya dari seorang penulis yang isinya tentang lelaki memiliki istri lebih dari satu. Ingin rasanya kubejek-bejek penulis itu. Lebih tambah jengkel lagi, justru aku malah mulai mengikuti semua tulisannya. Entah sihir apa yang ia tuangkan dalam rangkaian diksinya.

Ya penulis itu Mas Tirtarasa, penulis sableng yang ingin kumasukan dalam karung. Mas Tirta lah yang tulisanya mampu membuatku marah sekaligus bahagia. Membuat dadaku sesak sekaligus tertawa.

Terserah dunia mau bilang apa? Kenyataan Mas Tirta telah mengembalikan gairah hidupku, impian yang dulu hilang kini kembali bersinar.

Mulai menulis seperti dulu, aku juga menerbitkan banyak novel. Bahagianya lagi, ada sebagian karyaku menjadi film di stasiun Televisi Swasta.

Mas Tirta 'lah satu-satunya lelaki yang kurelakan menitipkan benih dalam rahimku sebelum akhirnya kita berpisah. Tanpa terasa sebening tirta melompat membasuh pipi saat kutulis cerita ini.

Apakah cinta tidak berpihak padaku? Adalah saat hati sudah tidak tahan menanggung beban yang disembunyikan dan kelopak telah banjir oleh air mata, serta dada seakan hancur oleh berat beban yang harus kupendam. Apa yang bisa kulakukan selain menangis dan meratap?

Mas Tirta ... Apa yang kamu lakukan itu ... Lebih dari jahat

Kembalinya Cinta yang Telah Hilang

Tepat satu tahun menempati rumah mungil hasil jerih payahku sendiri dari menulis, di pinggiran kota penyangga Jakarta. Di sore hari biasanya aku duduk halaman belakang rumah, menikmati udara senja, membaca novel-novel karya Bekti Cahyo Purnomo Seruyansyah yang sudah kubaca puluhan kali atau membaca kumpulan prosa cinta miliknya di berbagai media yang aku ikuti.

Kemarin umurku genap tiga puluh enam tahun. Aku merasa lima tahun lebih muda. Di sini, detik jam seolah berjalan lebih cepat berlari.

Hari ini kumematut diri di depan cermin, masih cantik. Kerutan-kerutan kecemasan diwajahku tidak ada sama sekali. Kulitku memang terlihat lebih cerah, selain menjaga pola makan, aku juga rajin olah raga.

Bunyi bel memanggil membuat Cinta kaget yang sedang duduk di atas sofa menonton Televisi, berlari membuka pintu.

"Ini benar rumah Era Puspita Sari?"

Terdengar jelas suara tamu itu membuatku terhenyak. Orang-orang mengenal namaku Ira bukan Era, hanya ada satu orang yang memanggil dengan sebutan itu.

"Siapa Cinta?" Aku segera berjalan menuju pintu.
"Gak tau, Ma. Ada Om Ganteng ini," balas Cinta melengking.

Sesampainya di depan pintu ...

Jantungku berhenti berdetak dari biasanya, nafasku tercekat. Betapa tanganku berkeringat, nyaris bergetar kencang, menahan keinginan untuk menyingkirkan rambut panjang yang menutupi mata tajamnya. Matanya yang selalu membuatku merasa terancam sekaligus nyaman.

Segera kukubur keinginan-keinginan itu dan mengarahkanya duduk di kursi tamu dalam rumah. Aku duduk di depanya sembari mengelus-elus Cinta dengan nafar tertahan.

Tiada ada percakapan apa-apa, aku biasanya selalu terdiam di hadapannya.

"Gimana kabarmu?" Mengumpulkan keberanian yang berserakan, aku memulai percakapan yang sungguh bukan basa-basi.

Kabar adalah hal terpenting yang kunantikan darinya sejak enam tahun lalu.

"Baik, kamu?"
"Emm ... aku tau Mas Tirta bisa menjawab pertanyaanku lebih baik dari itu. Semua orang tau, jawaban dari pertanyaan kabar adalah 'baik'. Sedangkan kita bukan semua orang."

"Di mana suamimu?" tanya Mas Tirta dengan suara parau, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Harus aku jawab apa coba? Sedangkan suamiku di depan mataku yang sedang bertanya ini. Mungkin Mas Tirta lupa, jika aku tidak menjadi istrinya maka lebih baik tidak menikah sama sekali.

"Emm ... Ada. Tunggu aja sebentar. Mas mau minum apa? Dingin atau panas? Oh ya Mas Tirta tidak minum Es. Aku buatin kopi ya? Seperti biasanya, tidak terlalu manis, juga tidak terlalu pahit."

"Aku harus jawab apa? Semua pertanyaanmu, sudah kamu jawab sendiri."

Mas Tirta tersenyum, kemudian semendadak angin menjadi hening. Keheningan yang sangat terasa kering hingga membakar kerongkongan.

Tergesa aku pergi ke dapur meracik kopi kesukaannya. Bercucuran air mataku menyimbahi jiwa terlunta, lantaran aku sudah tidak sanggup memerankan drama ini.

Setelah merasa sedikit lega dan menyeka air mata, segera kusajikan kopi untuknya dan aku kembali duduk di depan Mas Tirta.

"Akhirnya aku bisa merasakan kopi buatanmu juga ...," katanya, sembari menyindir.
"Kapanpun aku bisa menyajikan kopi untukmu, Mas. Jika Mas bisa berbuat adil," balasku dengan linangan air mata yang sudah tidak sanggup tertahan.

"Tidak... Sekarang sudah tidak lagi sama. Jangan khianati suamimu seperti kamu meninggalkanku tanpa jejak."
"Kalau Mas Tirta menepati janji, aku tidak mungkin pergi."
"Jadi aku yang salah?"
"Gak Mas. Aku yang salah."
"Udahlah sepertinya memang sudah tidak ada yang bisa di bicarakan lagi," Mas Tirta berdiri, tergambar jelas wajah kemarahan dan hendak segera pergi. Namun sebelum langkah kakinya sampai di pintu depan depan ....

"Tunggu!! Apa Mas tidak ingin bertemu Suamiku?"
"Baik'lah, sampaikan saja salamku untuknya."
"Aku tidak perlu menyampakanya."
"Terserah kamulah, kamu memang tidak berubah." Suara Mas Tirta meninggi.
"Buat apa aku menyampaikanya! Suamiku di depanku!" tantangku mendelik.

Seperti petir menyambar hati lelaki itu seketika mematung. Lelaki yang mata, alis hidung, kumis tipis, apalagi bibir merekahnya menari disekitaran le her, mampu membuatku melayang terbang tinggi melintasi sembilan samudra itu terkejut, seolah tidak percaya dengan apa yang aku katakan.

"Maksudnya?" tanyanya dengan suara sumbang.
"Tujuh Februari telah terlewati dan tahun ini adalah Februari ke tujuh. Apa Mas ingat? Enam tahun lalu aku pergi hanya untuk kebahagiaan Mas Tirta. Tapi apa balasanya? Bahkan Mas tega menelentarakan putri kandungmu sendiri ...."

Tangis'pun pecah, aku tidak sanggup peneruskan kata-kataku lagi. Ini adalah saatnya kebenaran itu terungkap.

"Bicara yang jelas." Mas Tirta berjalan kembali mendekat."Katakan padaku yang sebenarnya terjadi?" Ia mengintrogasi cercanya gemetar.

"Cinta ... Cinta ini putrimu, Mas!!"

Tentang Hati yang Terlunta

Taukah kamu apa yang paling menyiksa bagi seorang papa? Adalah kenyataan saat tak mampu melihat tumbuh kembang putri kandungnya sendiri.

Bercucuran air mata menyimbahi bumi, kering kerontang hancur berserakan, sesakan dada. Demi darah berdesir dalam raga yang terus saja mengalir meski kukatakan berhenti, sebuah kata penyesalan tidak akan cukup untuk menggantikannya.

Bagaimana mungkin kamu tega sekejam itu? Memisahkan papa dari putri malaikat kecilnya. Dalam cinta, siapa yang bersalah adalah sampah. Sedangkan meninggalkan orang yang tercinta itu lebih buruk dari pada bedebah.

Kapan saja boleh membalas sakit hatimu itu padaku, sepuasnya. Kamu tampar, bejek bejek, caci-maki sepuas hatimu ... Terserah. Aku bahkan rela meneteskan air mata darah, asal jangan kamu pisahkan aku dari darah dagingku sendiri.

Sekali saja, lihatlah aku sebagai manusia yang punya hati juga punya rasa. Bukankah kamu tau, aku memang bukan lelaki sempurna. Aku memang selalu tidak pernah menang berhadapan dengan wanita, tapi aku juga bukanlah buaya. Sekali cinta tetaplah cinta, karena rasa tidak terlahir dari paksa melainkan bergetar dalam dada.

Apakah dari awal aku telah kehilanganmu atau memang tidak pernah kumiliki dirimu selamanya? Lebih menyakitkannya lagi ... Apapun keadaanmu, mencintaimu adalah kerelaanku.

Sesuatu yang telah di satukan semesta, selayaknya tidak patut untuk dipisahkan. Hari ini kita telah bersama, maka tidak akan aku biarkan terlepas lagi hingga maut menjemput.

"Tidak ... Sudah kuduga dari awal..."

Kedua kaki Mas Tirta sepertinya tidak sanggup menopang berat badanya. Ia jatuh bertekuk lutut di hadapanku menangis segugukan.

Kamipun akhirnya berpelukan. Sekarang sudah tidak ada alasan lagi untukku tidak mendapatkan hak sebagai istri syahnya Mas Tirta, baik secara agama dan Negara.

Februari tahun ke tujuh, cinta yang dulu hilang kini telah kembali pulang. Apakah istri pertama Mas Tirta rela memberikan ijin? Entahlah.

Satu hal yang pasti, aku juga berhak atas dirinya. Suruh siapa membuat hatiku meleleh. Maaf ya Mbak ... Suamimu aku karungin.

THE END

Baca juga :


Author: Kanya Anantasya
Alien tercantik di planet bumi, penyuka traveling dan kesendirian.
Baca Juga

Share This

No comments:

Post a Comment

VIDEO JANDA COMMUNITY