Cinta di Ujung Bibir, Sejuta Kisah Cinta Janda Muda

Cinta di Ujung Bibir, Sejuta Kisah Cinta Janda Muda

Cerpen Sejuta Cerita Cinta Janda Muda

Foto Instagram Gadis Indo

"Tak ada manusia
"Yang terlahir sempurna
"Jangan kau sesali
"Segala yang telah terjadi
"Kita pasti pernah
"Dapatkan cobaan yang berat
"Seakan hidup ini
"Tak ada artinya lagi’

Hujan masih deras. Membasuh bumi tanpa jeda. Menghanyutkan segala macam yang dilalui. Sebagian, menerima itu sebagai berkah. Tidak sedikit jua menanti derainya berhenti, guna melanjutkan mencari peruntungan.

Sayup terdengar lagu D'masiv terlantun dari rumah tetangga sebelah tembok.

“Mas, tadi aku sudah menemui Pak Dukuh. Mencoba mengajukan Jamkesmas buat biaya lahiran bulan sembilan nanti.” Minah menyiapkan segelas kopi sembari membuka percakapan dengan suaminya.

“Oh … lha, terus piye?” tanya Mintolo. Suasana dapur kecil terasa semakin sesak, bila mengingat HPL istri tercinta semakin dekat.

Diambilnya gelas kopi, di dekatkan pada mulutnya. Sedikit memonyongkan bibir, meniup permukaan gelas. Berharap tidak tersengat panas, bahaya. Bisa mengacaukan pekerjaan satu-satunya.

Minah melirik polah suaminya. Sedikit menyunggingkan senyum, dia hapal betul jika suaminya tidak suka kopi panas. Namun, mau bagaimana lagi. Air sumur di tempat mereka rasanya sedikit aneh. Oleh sebab itu, menyeduh kopi adalah sebuah siasat. Tidak pernah terlintas dalam benak, bisa memasang mesin air. Bisa makan berlauk telur dadar, itu sudah sangat nikmat dan mewah.

“Terus--terus … kenapa bukan Mas saja yang ngadep Pak Dukuh. Aku, ya malu. Ditanyai, ke mana suaminya, kok datang sendirian. Kan harus ada yang ditandatangani, tho, Mas!”

“Hloh! Kamu itu, gimana sih! Aku ya kerja. Walaupun ndak di kantor mentereng, ya tetep saja, namanya kerja! Nih … pake ini, aku kerjane!” sungut Mintolo, sembari menunjuk bibirnya.


“Di luar masih hujan. Apa ya mau berangkat sekarang? Mending kita sekarang ke Pak Dukuh saja, tho ….” rengek Minah, jurus terakhirnya. Jika dengan berkata biasa suaminya tidak takluk, mau tak mau, harus mengeluarkan trik tertentu.

“Shh … a--aduuhh!” Refleks Minah mengelus perut yang kian hari bertambah maju dan besar.

Mintolo menatap Minah. Pada bening mata berwarna coklat tua itu, dahulu dia terpikat. Tampak kecerdasan dan keuletan yang bersinar kuat. Menyiratkan bahwa perempuan yang dinikahinya setahun lalu, bukan tipe yang mudah menyerah.

“Nah, tho … sakit lagi perutmu. Wis tho, sabar. Nanti ada sela, aku pasti rawuh ke Pak Dukuh. Kamu yang tenang, ya …. Jaga calon anak kita. Inget tho, yang dibilang bu Bidan? Selama hamil, ndak boleh mikir abot, harus makan yang bergizi.” Hibur Mintolo sembari mengusap rambut Minah yang hitam dan panjang sepinggang.

“Maafkan aku, ya … belum bisa 'mbelikan daging rendang, senenganmu. Duitku, kurang sedikit lagi,” bisik Mintolo di dekat telinga istrinya tersayang.

Minah pun pasrah. Tidak tega rasanya, jika harus memaksa lelaki yang sudah mengucap janji di depan penghulu. Hanya doa yang sanggup dia tambahkan. Berharap keberkatan dan sedikit keajaiban akan muncul menyambut kelahiran anak pertama mereka.

Minah segera menggamit kedua tangan suaminya. Membawa ke dekat bibir, lalu mengecup dengan takzim. Air mata keluar tanpa diminta. Teringat akan pesan orang tua, rida suami adalah rida Allah. Sekelebatan, rasa kurang bersyukur menghinggapinya. Terpengaruh perbincangan tetangga sebelah dinding rumah. Mintolo pun segera beranjak, guna menunaikan kewajiban mencari nafkah.

"Tetap jalani hidup ini
"Melakukan yang terbaik
"Tuhan pasti kan menunjukkan
"Kebesaran dan kuasaNya
"Bagi hambaNya yang sabar
"Dan tak kenal putus asa

Hujan deras, perlahan berganti gerimis. Lalu mereda, meninggalkan senyap. Yang tersisa hanya genangan air dalam legokan tanah. Berikut jejak alas kaki mendalam, karena tanah yang melunak. Semerbak petrikor menelisik tanpa permisi. Minah menyukainya.

Aroma tanah yang semula kering berdebu, terguyur air langit, menggelitik hidung tanpa tertolak. Dihirupnya sedalam mungkin, 'tuk kemudian perlahan menghembuskannya. Kesegaran pun menghampiri. Mengisi paru-paru kemudian terkirim ke otak melalui neuron sarafnya.

Ahh, senja menjelang. Segera ia masuk ke dalam kamar. Menyiapkan mushaf dan alas berupa bantal. Sebisanya, menyamankan diri saat berkhalwat dengan Sang Pencipta, Pemilik seluruh alam. Memasrahkan segala pinta dan maksud dalam hati. Ikhlas, laksana hujan yang turun seperti tadi pagi. Langit tak pernah meminta bumi membalas kebaikan dari setiap tetes air yang tercurah.

“Minah! Minah!” tiba-tiba terdengar suara pintu digedor dengan kuat. Minah pun bergegas membuka pintu.

“Iya! Kenapa, Bu Unang?” tanya Minah dengan dada masih berdegup kencang.

“Mintolo--suamimu … kecelakaan! Ketabrak mobil pas lagi markirke mobil. Yuk, kamu ikut ke rumah sakit, tak anter, ndang salin, gek uwis cepet.”

“Ap--paaa!? Gustiii, paringono sabaaarrr, Astaghfirullahaladzhim … Ya Allah, Mas Mintolo …!” jerit tangis Minah berbarengan dengan kekagetan. Dirinya langsung terduduk lemas. Ada yang terasa terlepas dari dalam perutnya. Akan tetapi, saat itu sudah tak dihiraukannya.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, semua terekam dalam benak Minah. Biaya persalinan yang tinggal enam puluh hari lagi, belum seberapa dikumpulkannya. Upah mengupas bawang merah yang dilakoninya, baru berjalan tiga minggu. Itu pun, tanpa sepengetahuan suami.

Rencananya, genap sebulan nanti, baru akan memberitahu calon ayah anak yang dikandungnya. Uang kontrakan, minggu depan sudah harus pelunasan. Ahh, betapa ujian kehidupan berumah tangga benar-benar hanya indah dalam sinetron.

"Tetap jalani hidup ini
"Melakukan yang terbaik
"Tak ada manusia
"Yang terlahir sempurna
"Jangan kau sesali
"Segala yang telah terjadi’

Entah dengan apa, dirinya harus meneruskan jalannya nasib keluarga. Suami yang bekerja sebagai juru parkir, tak bisa ditentukan besaran pastinya. Ada sedikit pengharapan, jika nanti surat Jaskesmas bisa diperolehnya, setidaknya berkurang satu beban pikirannya. Seumpama Sang Khalik memudahkan renCana bahtera rumah tangga mereka, itulah keajaiban yang tidak pernah luput dipinta Minah.

Yah, semoga saja ….

"Tuhan pastikan menunjukkan
"Kebesaran dan kuasaNya
"Bagi hambaNya yang sabar
"Dan tak kenal putus asa
"Dan tak kenal putus asa’

Roda Mobil terus melaju. Begitu pula arah nasib manusia. Terkadang di atas, meski sejenak saja. Sering jua, di bawah. Tertindas ego dan nafsu duniawi. Bismillah, hanya itu yang mampu diucapkannya, lirih. Selemah kesadaran yang perlahan mulai meninggalkan fisiknya.

“Mas … Mintolo, tunggu a--ku dan anak Kita, ya Mas ….”

Bu Unang seketika berteriak, “Minah …!”

* Selesai *

Tag: Cerpen Cerbung Cerpen Romantis Cerpen Baper Sejuta Kisah Cinta Janda Muda Sejuta Kisah Mama Muda
Baca Juga

Share This

No comments:

Post a Comment

VIDEO JANDA COMMUNITY